Halaman

sayang

KAMPUS YAYASAN STIKES HARAPAN MAMA TERLETAK DI BATANG KUIS KM.14.5 NO.10 SEIROTAN-BATANGKUIS DELI SERDANG MEDAN SUMATERA UTARA

Selasa, 24 Mei 2011

BAHAYA HIPERTENSI PADA IBU MASA KEHAMILAN

Kehamilan dan persalinan merupakan proses alamiah, tetapi bukannya tanpa risiko dan merupakan beban tersendiri bagi seorang wanita. Sebagian ibu hamil akan menghadapi kegawatan dengan derajat ringan sampai berat yang dapat memberikan bahaya terjadinya ketidaknyamanan, ketidakpuasan, kesakitan, kecacatan bahkan kematian bagi ibu dan bayinya. Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan pasca persalinan, uri tertinggal, partus tak maju/partus lama serta infeksi.(Nursalam,2006)
Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah kesehatan yang penting, bila tidak ditanggulangi akan menyebabkan angka kematian ibu yang tinggi. Kematian seorang ibu dalam proses reproduksi merupakan tragedi yang mencemaskan. Keberadaan seorang ibu merupakan tonggak untuk tercapainya keluarga yang sejahtera dan kematian seorang ibu merupakan suatu bencana bagi keluarganya. Dampak sosial dan ekonomi kejadian ini dapat dipastikan sangat besar, baik bagi keluarga, masyarakat maupun angkatan kerja.(Abdullah,2007)
World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2005 terdapat 536.000 wanita hamil meninggal akibat hipertensi pada saat persalinan di seluruh dunia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Sub-sahara Afrika 270/100.000 kelahiran hidup, di Asia Selatan 188/100.00 kelahiran hidup dan di Asia Tenggara 35/100.000.
Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2005, di Indonesia angka kematian ibu tergolong tinggi yaitu 420/100.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. AKI di Singapura 14/100.000 kelahiran hidup, di Malaysia 62/100.000 kelahiran hidup dan di Thailand 110/100.000 kelahiran hidup. Di Vietnam 150/100.000 kelahiran hidup, di Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000 kelahiran hidup.(World Health Oganization,2010)
Angka Kematian Ibu merupakan indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu mulai dari masa kehamilan, persalinan dan nifas. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009, AKI di Indonesia 307/100.000 kelahiran hidup dan tahun 2009, 228/100.000 kelahiran hidup. AKI di Sumatera Utara 379/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 dan 123/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009.
Berdasarkan laporan Depkes tahun 2009, AKI di Indonesia 226/100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI di Indonesia masih terlalu lambat untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) yaitu menurunkan angka kematian ibu tiga per empat selama kehamilan dan persalinan. Rentang tahun 2003-2009 penurunan AKI di Indonesia, jauh dari target yang ingin dicapai pada tahun 2010 dan 2015 diperkirakan 125/100.000 kelahiran hidup dan 115/100.000 kelahiran hidup.(Depkes RI, 2009)
Kematian ibu menurut penyebab dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Penyebab kematian ibu langsung yaitu akibat komplikasi kehamilan, persalinan, masa nifas dan penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Penyebab kematian ibu tidak langsung yaitu akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, penyakit kardiovaskuler, terlambat mendapat dan mencapai pelayanan kesehatan. Secara global 80% kematian ibu tergolong penyebab kematian ibu langsung yaitu perdarahan (25%) biasanya perdarahan pasca persalinan, sepsis (15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%), komplikasi aborsi tidak aman (13%) dan sebab lain (7%).
Hipertensi sering terjadi akibat terlalu banyak anak, partus pada usia dini atau lanjut, jarak persalinan terlalu rapat, kehamilan pertama yang dikaitkan terjadinya CPD (Chepalo Pelvis Disproporsi), tinggi badan < 150 cm, ukuran panggul yang kecil, riwayat persalinan jelek dan petugas kesehatan tidak terlatih untuk mengenali persalinan macet yang menyebabkan tingginya risiko kematian bayi.10 Penyebab utama lahir mati adalah gangguan persalinan (25%), hipertensi (19%), masalah kesehatan ibu menjelang persalinan (13%) dan malpresentasi (12%). Hipertensi akan menyebabkan infeksi, kehabisan tenaga, dehidrasi pada ibu, kadang dapat terjadi atonia uteri yang dapat mengakibatkan pendarahan postpartum.
Menurut Depkes tahun 2004, ibu hipertensi yang rawat inap di Rumah Sakit di Indonesia diperoleh proporsi 4,3% yaitu 12.176 dari 281.050 persalinan dan CFR ibu akibat hipertensi 0,7%. Dari hasil penelitian Khan di RS Pemerintah Karachi tahun 1991-1994 diperoleh proporsi hipertensi 2,6% yaitu 118 kasus dari 4.500 persalinan.13 Hasil penelitian Daffalah dkk di RS Pendidikan Wad Medani Sudan tahun 1997-1999 diperoleh proporsi hipertensi 1,3% yaitu 207 kasus dari 16.221 persalinan.
Hasil penelitian Orach di Uganda tahun 2000 diperoleh ibu yang meninggal akibat hipertensi 324 orang dengan CFR 26%.15 Hasil penelitian Gessessew dan Mesfin di RS Adigrat Zonal tahun 2001 diperoleh proporsi hipertensi 3,3% yaitu 195 kasus dari 5.980 persalinan dan CFR ibu akibat hipertensi 3,6%. Proporsi penyebab hipertensi yaitu CPD 64,9%, presentasi abnormal 32,5%, abnormalitas pada janin 2,1% dan mioma 0,5%.
Dari hasil penelitian Mulidah dkk di RSUD Purworejo tahun 2000-2001 diperoleh proporsi hipertensi 15,5% yaitu 82 kasus dari 529 persalinan.17 Hasil penelitian Rusydi di RSUP Palembang tahun 2000-2004 diperoleh proporsi hipertensi 3,3% yaitu 350 kasus dari 10.593 persalinan.
Dari hasil penelitian Syamsul di RSU Tanjung Pura Kabupaten Langkat dan RSU Kisaran Kabupaten Asahan Sumatera Utara tahun 2001, diperoleh di RSU Tanjung Pura proporsi hipertensi 44,4% yaitu 139 kasus dari 313 kedaruratan obstetri, CFR ibu akibat hipertensi 0,7% dan CFR bayi akibat hipertensi 2,2%. Di RSU Kisaran proporsi hipertensi 42,1% yaitu 118 kasus dari 280 kedaruratan obstetri dan CFR bayi akibat hipertensi 3,5%.(Depkes Sumatera Utara, 2010)
Hasil penelitian Yeni di RSU Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun 2002, di Tapanuli Utara diperoleh proporsi hipertensi 14,1% yaitu 30 dari 73 kasus kedaruratan obstetri. Di Tapanuli Selatan diperoleh proporsi hipertensi 41,9% yaitu 31 dari 74 kasus kedaruratan obstetri, di Deli Serdang diperoleh proporsi hipertensi 56% yaitu 37 dari 66 kasus kedaruratan obstetri.
Dari hasil penelitian Abdi di RSIA Badrul Aini Medan tahun 2002-2006 diperoleh proporsi hipertensi 12,7% yaitu 411 kasus dari 3.225 persalinan dan CFR bayi akibat hipertensi 0,2%.21 Hasil penelitian Simbolon di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2007 diperoleh proporsi hipertensi 21,7% yaitu 273 kasus dari 1.260 persalinan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik Di RS Santa Elisabeth Medan tahun 2005-2009 ditemukan proporsi hipertensi 25,2% yaitu 615 kasus dari 2.436 persalinan. pada umumnya kehamilan yang sudah terdeteksi dengan risiko tinggi yang dapat menimbulkan hipertensi harus segera mendapatkan perawatan di rumah sakit sehingga penanganan dapat segera dilakukan.
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik ibu bersalin dengan hipertensi rawat inap di RS Santa Elisabeth Medan.

MENOPAUSE PADA PRIA

Siapa bilang cuma wanita yang mengalami menopause? Pria juga bisa.Namanya Andropause.
Istilah andropause pada pria, ungkap dr. Tribowo Hasmoro, Sp.And.,memang memiliki banyak kemiripan dengan menopause yang dialami wanita. Hanya saja,masalah seputar andropause yang ramai dibicarakan 3 tahun belakangan ini, masih kontroversial. “Kapan terjadinya dan apa saja tanda/gejalanya, tidak sepasti menopause.”
Pada wanita,lanjut Tribowo, menopause berarti berhenti haid karena ovulasi tak terjadi lagi akibat habisnya persediaan sel telur. Nah, pada pria, andropause tak identik dengan berhentinya produksi sperma. Sebab, secara fisik, sampai usia tua pun, sperma masih akan tetap diproduksi.
GAMPANG MARAH
Istilah andropause sendiri, terang ahli andrologi yang berpraktek di RS Hermina, Jatinegara,digunakan untuk menggambarkan kondisi pria tengah baya yang mempunyai kumpulan gejala dan keluhan mirip dengan menopause pada wanita. Meski tak identik dengan berhentinya produksi sperma, keluhan fisik dan psikis yang muncul memiliki banyak kesamaan. Misalnya, rambut rontok, kulit kering dan keriput hingga tampak tua, tekanan darah dan kadar kolesterol meningkat, organ-organ tubuh seperti ginjal dan hati mengalami pengecilan, muncul gangguan osteoporosis, serta melemahnya kemampuan imunitas atau daya tahan tubuh.
Akibatnya, yang bersangkutan biasanya jadi cepat letih dan lesu lantaran berkurangnya kekuatan tubuh. Belum lagi, kemampuan metabolisme tubuh pun mengalami penurunan hingga gampang terjadi penumpukan lemak dan rentan terhadap berbagai gangguan penyakit. Misalnya saja jadi gampang terkena serangan jantung, kanker, danpenyakit lain. “Kemampuan mental yang bersangkutan pun umumnya menurun. Jadi mudah marah, cepat lupa, kehilangan antusiasme/gairah hidup, kurang percaya diri,cemas berlebih hingga susah tidur, bahkan depresi.”
Ciri lain adalah perubahan tingkah laku, semisal cenderung ingin tampil muda. Atau malah cenderung ingin membuktikan dirinya tak mengalami gangguan seksual dengan mengobral cinta. Sementara mereka yang sejak semula memang senang bersolek dan bergaya trendy belum tentu terkena andropause. Tak heran bila mereka terdorong mengkonsumsi suplemen tertentu yang diyakini sebagai obat kuat untuk memulihkan vitalitas dan kejantanannya. “Padahal, vitalitas yang menurun karena memburuknya derajat kesehatan,tidak identik dengan andropause.”
Hanya saja, tutur Tribowo, kecenderungan-kecenderungan tersebut masih disangsikan, apakah sebagai ciri khas andropause atau memang sifat individu yang bersangkutan. Kehilangan kepercayaan diri, contohnya, belum tentu lantaran andropause. Sekalipun dulu ia terbiasa menjadi pengambil keputusan, misalnya, kini jadi peragu.Bisa saja sikap ragu-ragunya itu merupakan cermin sikapnya yang lebih bijaksana.Begitu juga dengan kepikunan, belum tentu karena andropause. “Kan, banyak faktor pemicunya. Semisal aliran darah ke otak yang berkurang karena adanya gangguan/penyakit pada pembuluh darah, seperti sklereosis atau antesklereosis.”
TANPA BATASAN USIA
Dari sekian banyak keluhan, ungkap Tribowo, yang kerap mendorong individu datang berobat adalah menurunnya gairah seksual. “Padahal, keluhan yang satu ini, kan, belum tentu akibat andropause.” Bisa saja karena menurunnya daya sensitivitas terhadap rangsangan atau beban psikis semisal konflik dengan istri atau ada masalah di tempat kerja. Toh, menurunnya gairah seksual juga tak berarti tak bisa melakukan hubungan intim.
Selain itu, tegas Tribowo, tak ada batasan yang pasti soal usia.Artinya, usia fisik seseorang memang tak bisa dijadikan patokan. Meski diperkirakan andropause terjadi antara usia 40-60 tahun, bisa saja datang lebih dini atau justru lebih lambat dari perkiraan umur tersebut. “Tak sedikit, kan, pria di atas 70 tahun tapimasih tinggi gairah seksualnya dan tetap berpeluang besar punya anak?”
Sebaliknya, ada pria yang masih berusia 40 tahun atau lebih muda, namun gairah seksualnya sudah sedemikian menurun. Padahal,kondisi fisiknya secara keseluruhan belum mengalami proses penuaan yang berarti. “Nah, yang seperti ini,bisa disejajarkan dengan menopause prekoks atau menopause dini.”
Turunnya gairah seks dan munculnya gejala-gejala seperti disebut di atas,belum tentu menjelaskanyang bersangkutan mengalami andropause. Yang menjadi penentu andropause, terang Tribowo, adalah tingkat penurunan kadar hormon-hormon tubuh, terutama testosteron. “Menurunnya kadar-kadar hormon ini bukan melulu pertanda datangnya andropause. Bisa saja karena proses penuaan. Jadi, memang agak sulit menentukan apakah andropause merupakan proses tersendiri atau akibat yang mengikuti proses penuaan tubuh.”
PROSES FISIOLOGIS
Proses penuaan itu sendiri, ungkapTribowo,bersifat multikompleks. Artinya, bertambahnya usia akan menurunkan fungsi sel-sel secara keseluruhan, juga jaringan maupun organ-organ tubuh. Memang, adafaktor-faktor tertentu yang diduga mempercepat proses penuaan tersebut seperti penyakit metabolik atau penyakit tertentu yang berkaitan dengan fungsi-fungsi hormon dalam metabolisme tubuh, seperti diabetes, hipertensi, dan kelainan hati. Begitu juga lingkungan polutif dan pola hidup yang penuh dengan stres merupakan faktor pemicu. Sama halnya dengan menopause yang bukan merupakan akibat langsung dari penyakit tertentu, andropause punterjadi karena proses fisiologis itu sendiri. Jadi, tubuh tak lagi menghasilkan hormon yang cukup memadai bagi sel-sel normal untuk menjalankan fungsinya. Alhasil,organ-organ yang berkaitan dengan fungsi androgen,tak mampu menjalankan fungsi dengan semestinya. Penyebab utamanya, kemungkinankarena ada kerusakan DNA dari sel-sel tubuh. Menurut Tribowo,DNA memiliki kemampuan untuk merusak maupun memperbaiki diri sendiri, yang berbeda pada tiap orang akibat adanya faktor genetis/keturunan. Itu juga sebabnya ada wanita yangmenopause di usia 45 tahun, tapi ada pula yang lebih tua bahkan lebih muda dari 45 tahun.
Yang jelas, lanjutnya,sejauh ini belum ada data pasti mengenai populasi penderita andropause di Indonesia maupun di mancanegara. Begitu juga dengan penelitian tentang faktor pemicu dan
kelompok mana saja yang berpeluang besar mengalami andropause.
TERAPI HORMON
Kepada mereka yang datang dengan keluhan yang mengarah ke andropause, biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan laboratorium sebelum menentukan terapi.Dari pemeriksaan laboratorium akan diketahui, hormon apa saja yang mengalami penurunan. Apakah itu hormon gonadotropin, somatotropin, melantonin, insulin, hormon pertumbuhan atau testosteron. Akan dilihat pula berapa kadar penurunan hormon-hormon tersebut. Nah, dari situlah dokter bisa menilai, perlu-tidaknya terapi. “Pemeriksaan ini amat perlu. Soalnya,ada pria yang range-hormonnya masih tergolong normal, yakni antara 300-1.700 nanogram, tapi sudah mengeluh macam-macam. Sebaliknya, ada pula yang kadar testosteronnya sudah drop, toh masih bisa menikmati kehidupan seksualnya dengan baik.” Tapi angka-angka tadi tak bisa dijadikan patokan apakah yang bersangkutan mengalami andropause atau tidak,mengingat sifatnya yang amat individual. Oleh sebab itu, pengobatan akan didahului dengan terapi psikologis. Apalagi bila ternyata hormon testosteron maupun hormon-hormon lain tak mengalami penurunan berarti. Untuk itu diperlukan koordinasi antara androlog yang menangani dengan psikolog atau psikiater. Bila terbukti ada hormon tertentu yang mengalami penurunan, pasien diberi terapi hormon lewat tablet atau injeksi intramuskular. Tambahan hormon ini biasanya akan bertahan selama dua minggu. Setelah kurun waktu tersebut, konsentrasinya akan turun dan perlu injeksi baru. Begitu seterusnya. Selanjutnya, tiap bulan dokter akan mengecek apakah kadar hormon sudah atau belum mengalami peningkatan. Jika sudah, pemberian hormon dihentikan untuk jangka waktu tertentu, “Tergantung respons pasien. Ini penting karena hormon yang diberikan punya dampak yang tak bisa dianggap sepele.Yakni pembesaran prostat yang bisa mengarah ke kanker prostat.” Terapi yang diberikan, lanjutnya, lebih ditujukan agar proses penuaan/kerusakan sel-sel tubuh tidak semakin memburuk. “Memperbaiki jelas tidak mungkin, dong. Siapa, sih,yang bisa menahan proses penuaan yang memang bersifat alami?” Toh, sebetulnya andropausetak perlu kelewat dikhawatirkan lantaran tak menyebabkan gangguan apa pun yang spesifik. “Selama sperma masih diproduksi dan inividu yang bersangkutan tak mengalami gangguan ereksi, enggak masalah, kan?

PROSES menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau perubahan struktur dan fungsi jaringan, sel dan non sel. (Widjayakusumah, 2009). Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan terjadi sebagai akibat proses menua. Terjadinya perubahan pada semua orang yang mencapai usia lanjut yang tidak disebabkan oleh proses penyakit, menyebabkan kenapa penderita geriatrik berbeda dari populasi lain. (Brocklehurst and Allen, 2009).
Penurunan daya ingat ringan, penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan (presbiakusis dan presbiopia) bukanlah suatu penyakit. Seringkali memang susah untuk membedakan antara penurunan akibat proses fisologis dengan yang terjadi karena gangguan patologis, misalnya seperti pada osteoporosis dan aterosklerosis. (Martono,2010 ).
Banyak perubahan fisiologi yang mempengaruhi status gizi terjadi pada proses penuaan diantaranya adalah penurunan kecepatan basal metabolik ( BMR ) sekitar 2 % / dekade setelah usia 30 tahun. Penurunan sekresi asam klorida, pepsin dan asam empedu yang berpotensi untuk mengganggu penyerapan kalsium, zat besi, seng, protein, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak.
Dengan menurunnya fungsi biologis sel dan organ, maka daya adaptasi fungsi-fungsi tersebut untuk mengatasi gangguan fisik dan mental juga menurun. Dengan pertambahan usia yang ditandai gejala berkurangnya kemampuan fisik dan mental seseorang, maka beberapa keadaan patologis dapat timbul akibat proses penuaan. Berbagai komplikasi serius dapat timbul akibat adanya perubahan pada beberapa sistem organ dan fungsi metabolik yang disebabkan oleh imobilisasi. Dekubitus, osteoporosis, konstipasi, kelemahan dan perubahan psikologik merupakan beberapa komplikasi akibat imobilisasi. (Kahn, 2008).
Osteoporosis menurut etiologinya dapat dikelompokkan dalam osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah yang terjadi pada pria paska menopause oleh karena proses penuaan. Sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain oleh kelainan endokrin, gangguan fungsi hati, ginjal, defisiensi vitamin D, gangguan hematologi, kelainan saluran cerna dan berbagai macam obat-obatan. Osteoporosis sekunder yang salah satu penyebabnya yang paling sering ditemukan adalah glukokortikoid. Hal ini disebabkan oleh karena glukokortikoid dapat mempengaruhi produksi dari prostaglandin E, sintesis insulin like growth factor, 1 (IGF-1) dan transforming growth factor (TGF).
Imobilisasi juga akan mengakibatkan keseimbangan kalsium negatif yang merupakan manifestasi peningkatan eksresi kalsium dalam feses dan urin. Perubahan ini berkaitan dengan peningkatan reabsorbsi tulang sekunder akibat posisi berbaring dan kurang penyerapan di usus. Kadar serum 1,25 dihydroxyvitamin D juga berkurang. Selama imobilisasi hormon paratyroid akan meningkat bersamaan dengan kadar alkalin fosfatase selama remobilisasi seiring dengan adanya peningkatan reabsorbsi kalsium. (Seiler, 2010).
Pada orang dewasa kira-kira setengah dari alkaline phospatase diperoleh dari tulang dan setengahnya lagi dari hati. Pada osteoporosis aktifitas alkaline phospahatase dalam tulang biasanya meningkat. Pada awal menopause, turn over tulang (formasi atau resorpsi) meningkat kira-kira 2 kali lipat dan terus meningkat selama beberapa tahun, kemudian mulai menurun.
Osteoporosis adalah suatu keadaan berkurangnya massa tulang sedemikian rupa sehingga hanya dengan trauma minimal tulang akan patah. Osteoporosis akan menghilangkan elastisitas tulang sehingga menjadi rapuh dan menyebabkan mudah terjadi patah tulang (fraktur).
Menurut Kanis, seorang tokoh WHO dalam bidang osteoporosis, jumlah patah tulang osteoporotik meningkat dengan cepat. Di seluruh dunia pada tahun 2008 terjadi 1,7 juta kasus menopause pada pria. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya usia harapan hidup. (Hilmy, 2010).
Dengan bertambahnya usia terjadi peningkatan kehilangan tulang secara linear. Kehilangan tulang ini lebih nyata pada pria dibandingkan laki-laki. Tingkat kehilangan tulang ini sekitar 0,5 – 1 % pertahun dari total berat tulang pada pria pasca menopause dan pada pria > 80 tahun. (Martono,2010)
Pada osteoporosis, penanda bone turn over dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tulang pada pria postmenopause, untuk memperkirakan kejadian fraktur osteoporotik dan untuk memantau efikasi pengobatan, terutama terapi anti resorpsi (HRT, bifosfonat dan calsitonin). Bebrapa studi cross-sectional menunjukan bahwa bone turnover meningkat dengan cepat setelah menopaouse, dengan 50 – 100 % peningkatan osteocalsin dan bone alkalin phosphatase (BAP). Pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) yang diukur pada beberapa tempat berkorelasi dengan bone turn over yang diperkirakan dengan beberapa penanda pada pria postmenopause (Garnero,P.2009)
Di Amerika 26 juta orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis, 40 % diantaranya mengalami patah tulang karena osteoporosis. 20 juta diantaranya adalah wanita. Dan ini akan membuat beban biaya untuk pengobatan kira-kira 10 juta dolar pertahun (Heimburger,2009). Menurut penelitian di Australia, setiap tahun 20.000 pria mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya meninggal karena komplikasi. Garvan mengatakan bahwa 25 % pria di negeri Kanguru itu bakal terkena osteoporosis.
Hasil studi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bogor, yang melakukan penelitian dari tahun 2009 – 2010 pada beberapa Propinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima perempuan mengalami osteoporosis pada usia memasuki 50 tahun. Dan pada laki-laki umur 55 tahun. Kejadian osteoporosis lebih tinggi pada pria ( 21,74 % ) dibandingkan dengan laki-laki (14,8 %). ( Siswono, 2010 )
Di Asia fraktur tulang pinggul juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50 % dari kejadian fraktur didunia terjadi di Asia (Campion, 2009). Prevalensi pria yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50 – 59 tahun yaitu 24 % sedang pada pria usia 60 – 70 tahun sebesar 62 %.
Hal ini dikaitkan dengan masa menopause pada wanita. Ketika pria memasuki masa menopause, fungsi ovariumnya menurun akibatnya produksi hormon estrogen dan progesteron berkurang. Kalau kadar estrogen dalam darah turun, maka siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang mulai terjadi. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Yang sangat terpengaruh dengan keadaan ini adalah tulang trabekular, karena tingkat turn overnya tinggi.( Lane, 2010).
Data pasien baru osteoporosis rawat jalan di RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun 2003 adalah 128 orang umur 45 – 64 tahun, dan 32 orang yang berumur + 65 tahun. Ada beberapa faktor risiko osteoporosis diantaranya genetik, jenis kelamin dan masalah kesehatan kronis, defisiensi hormon, merokok, kurang olah raga serta rendah asupan kalsium. Bila dalam suatu keluarga mempunyai riwayat osteoporosis maka kemungkinan peluang anak mengalami hal yang sama adalah 60-80 %. Dilihat dari jenis kelamin 80 % pria mengidap osteoporosis. Risiko osteoporosis juga akan meningkat apabila mengidap penyakit kronis. Sedangkan hubungan antara perempuan osteoporosis karena menopause akibat dari penurunan hormon estrogen. (Siswono, 2009).
Minum alkohol yang berlebihan dan merokok juga meningkatkan risiko patah tulang dua sampai tiga kali dibandingkan dengan laki-laki yang tidak merokok. Kafein dapat meningkatkan pengeluaran kalsium melalui air seni. Begitu juga dengan minuman soft Drink yang mengandung karbonat dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh, ini bisa berakibat osetoporosis. (Siswono, 2009 ).
Beberapa hasil riset menyebutkan bahwa masukan kalsium yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan massa tulang, sedangkan massa tulang menurun pada orang yang mengkonsumsi alkohol ( P < 0.01 ). Kepadatan mineral tulang lebih baik pada asupan asam lemak tak jenuh ganda (Poliunsaturated acid).(Macdonald,et al, 2009 ).
Hal ini juga dipaparkan oleh Tucker, et al 2008, dimana dengan mengatur pola makan yang baik dihubungkan dengan kepadatan mineral tulang. Terano, 2009 menyebutkan bahwa ada hubungan yang positif antara pria yang tinggal di perkampungan nelayan dengan indeks massa tulang. Kosentrasi serum EPA dan DHA cukup tinggi pada pria post menopause di perkampungan nelayan dibandingkan dengan pria seumur yang tinggal di perkotaan. Kosentrasi serum EPA dan DHA mencerminkan suatu masukan ikan sehari-hari yang cukup.
Masukan sayur dan buah yang tinggi dapat bersifat melindungi. Penelitian lain menyebutkan bahwa total asupan protein hewani dapat memperbesar risiko patah tulang pinggul pada pria post menopause (Munger, 2009 ). Sekarang ada hal yang perlu dipertimbangkan untuk melindungi diri dari retak tulang yaitu dengan mengkonsumsi sayuran dan buah yang tinggi dimana Sebastian et al, melaporkan bahwa kalium dapat meningkatkan keseimbangan formasi mineral tulang. (Hegsted, 2010)
Beberapa bahan makanan nabati mengandung kalsium yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat digunakan secara maksimal karena tingginya kadar oksalat atau phitat. Hal ini terutama terdapat pada bayam, dan bit serta biji-bijian. Didalam diet orang Inggris, oksalat banyak berasal dari teh. Adanya oksalat dalam makanan juga menurunkan ketersediaan magnesium dan besi. Asam oksalit dan fitik menyebabkan mineral-mineral tersebut tidak dapat digunakan oleh karena terbentuknya garam-garam yang tidak larut. (Linder,2009 )
Faktor lain yang mempengaruhi kadar kalsium dalam plasma adalah ratio Ca : P dalam makanan. Idealnya konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor, rasio P : Ca = 1,5 : 1 mungkin dapat diterima. Tapi rasio yang lebih dari 2 : 1, terutama kalau konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif. Makanan yang mempunyai ratio Ca : P tidak baik dapat meningkatkan sekresi hormon paratiroid, yang bisa menyebabkan demineralisasi tulang. Diperkirakan hal ini mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan terjadinya osteoporosis, suatu fenomena yang menurunkan kepadatan dan mineralisasi tulang. Ini umum terjadi dengan meningkatnya umur terutama pada pria menopause. (Linder,2010).

Sabtu, 21 Mei 2011


PENYAKIT ANEMIA PADA IBU HAMIL
Anemia merupakan keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb), hematokrit dan jumlah sel darah merah di bawah nilai normal. Anemia gizi adalah keadaan di mana kadar hemoglobin (Hb), hemotokrit dan sel darah merah lebih dari nilai normal sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau beberapa unsur makanan yang esensial yang dapat mempengaruhi timbulnya defisiensi tersebut (Arisman, 2006 ).
Anemia dalam kehamilan yang paling sering di jumpai adalah anemia gizi besi. Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Penyebabnya karena kurangnya asupan zat besi dalam makanan gangguan resorpsi, gangguan penggunaan atau perdarahan. Frekuensi anemia dalam kehamilan di dunia cukup tinggi berkisar antara 10% dan 20% (Prawirohardjo, 2002).
Suplementasi pemberian tablet tambah darah dalam program penanggulangan anemia gizi telah di uji secara ilmiah efektifitasnya apabila dilaksanakan sesuai dengan dosis dan ketentuan. Program pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil yang menderita anemia kurang menunjukkan hasil yang nyata. Faktor yang mempengaruhi adalah kepatuhan minum tablet tambah darah yang tidak optimal dan status ibu sebelum hamil sangat rendah, sehingga jumlah tablet tambah darah yang dikonsumsi tidak cukup untuk meningkatkan Hemoglobin (Hb) dan simpanan besi (Depkes RI, 2005)
Tidak mudah menjalankan program suplementasi dengan pil besi terutama ibu hamil. Penyebabnya antara lain sebagian besar sasaran tidak terjangkau oleh program, ibu yang bersangkutan tidak merasakan kebutuhannya karena tidak merasa sakit, efek samping yang dapat menyebabkan ibu enggan minum pil setiap hari, dan kelalaian untuk minum pil setiap hari ( Kalbe, 2008 ).
Seorang wanita hamil yang memiliki kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 10% disebut anemia dalam kehamilan. Dampak kekurangan zat besi pada wanita hamil dapat menyebabkan komplikasi yang lebih serius bagi ibu baik dalam kehamilan, persalinan dan nifas yaitu dapat mengakibatkan abortus, partus prematurus, partus lama karena inertia uteri, perdarahan post partum karena atonia uteri, syok, infeksi intra partum maupun post partum. Anemia berat dengan Hemoglobin (Hb) kurang dari 4% dapat mengakibatkan dekompensatiocordis. Sedangkan komplikasi dapat terjadi pada hasil konsepsi yaitu kematian mudighah, kematian perinatal, prematuritas, cacat bawaan dan cadangan zat besi kurang (Prawirohardjo, 2002).
Mendeteksi anemia dalam kehamilan, menurut Ikatan Bidan Indonesia (2000) ibu hamil harus dilakukan pada kunjungan pertama dan minggu ke-28. Bila kadar Hb < 11 gr%, pada kehamilan, dinyatakan termasuk anemia dan harus diberi suplemen tablet zat besi yang berisi 60 mg zat besi dan 0,5 mg asam folat, diminum secara teratur 1 tablet/hari selama 90 hari berturut-turut, bila kadar hemoglobin (Hb) masih < 11 gr% pemberian tablet tambah darah dilanjutkan (Depkes RI, 2008).
Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia. Perkiraan ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi secara global sekitar 51%. Ditahun 1990, ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi pada ibu hamil menurun sampai sekitar 45% (WHO, 2009). Angka tersebut terus membengkak hingga 74% (1997) yang bergerak dari 13,4% (Thailand) ke 85,5% (India). Di negara berkembang, ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi sekitar 36% atau 1400 juta orang dari perkiraan 3800 juta orang dinegara berkembang. Oleh karena itu banyak ibu hamil yang terjangkit oleh anemia defisiensi besi, sedang dinegara berkembang sekitar 8% atau kira-kira 100 juta orang dari perkiraan populasi 1200 juta orang (Arisman, 2006 ).
Hasil survei demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1999 menunjukkan terjadinya peningkatan angka kematian ibu (AKI). Kalau pada tahun 1997 angka kematian ibu (AKI) menunjukkan 318 per 100.000 kelahiran hidup dan ditahun 1999 menjadi 380 per 10.000 kelahiran hidup pada tahun 2001. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) AKI menunjukkan 377 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2008)
Berdasarkan hasil survey pada ibu hamil tahun 1997 diketahui prevalensi mengkonsumsi zat besi pada ibu hamil tercatat sebesar 20,15% lebih rendah dibanding angka nasional sebesar 40% berdasarkan penelitian yang dilakukan di pulau Jawa, Bali, Kalimantan. Rendahnya prevalensi ini disebabkan karena cakupan pil zat besi yang masih < 90%. Selain itu disebabkan karena tingkat konsumsi protein dan sayuran hanya sebesar 4,3% (target 15,9%) dari total konsumsi energi perorangan per hari (PKG, 1997). Hasil Susenas 2004 di provinsi Lampung tercatat 70,4% ibu hamil telah minum pil zat besi, tetapi masih terdapat 29,6% yang tidak minum pil besi selama kehamilan (Profil Kesehatan Lampung, 2006).
Hasil survei pada ibu hamil tahun 2008 di Propinsi Sumatera Utara diketahui Kabupaten Langkat, angka kejadian anemia sebesar 72,3%, yang disebabkan oleh ibu hamil yang tidak mengkonsumsi zat besi, ibu y\hamil yang mengkonsumsi zat besi tercatat 23,15% dari ibu hamil . Pada tahun 2007 Dinas Kesehatan Langkat melakukan survey anemia di 24 kecamatan ditemukan ibu hamil dengan anemia sebesar 55,13%. Sedangkan berdasarkan data di puskesmas sukadana tahun 2007, angka kejadian anemia sebesar 21,25% (Dinas Kesehatan Lampung Timur, 2006). Hasil pra survey yang dilakukan oleh peneliti di BPS Suyatun Pakuan Aji Lampung Timur pada tahun 2007, dari 35 orang ibu hamil terdapat 4 orang atau 11,76% yamg menderita anemia.

RENDAHNYA MINAT IBU DENGAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI
Masalah utama yang sedang dihadapi negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk dan kurang seimbangnya penyebaran dan struktur umur penduduk. Keadaan penduduk yang demikian telah mempersulit usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Semakin tinggi pertumbuhan penduduk semakin besar usaha yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat tertentu kesejahteraan rakyat (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 2007). Keluarga Berencana telah menjadi salah satu sejarah keberhasilan pada abad ke 20 saat ini hampir 60 % pasangan usia subur di seluruh dunia menggunakan kontrasepsi senggama terputus. Hingga saat ini populasi dunia sudah mencapai angka 6 milyar dan lebih dari 120 juta wanita negara berkembang tidak memiliki cara mencegah kehamilan. Pada awal tahun 2008, para pakar kependudukan memproyeksikan penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 234,1 juta Angka ini merupakan proyeksi moderat yang mengasumsikan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) dalam menurunkan fertilitas pada periode 2007-2008 terus berlanjut.
Kontrasepsi hormon merupakan kelompok kontrasepsi yang pemakaiannya berada pada urutan ke tiga diseluruh dunia. Sebagian besar (85 %) menggunakan kontrasepsi oral sedangkan implant hanya 15% namun beberapa negara mungkin banyak mengandalkan salah satu metode tertentu (Glasier,2009).
Survey demografi dan kesehatan Indonesia tahun 2008 – 2009 memperlihatkan proporsi peserta KB untuk semua tercatat sebesar 65,3 %. Bila dirinci lebih lanjut proporsi peserta KB yang terbanyak adalah suntik (29,8%), diikuti oleh pil (23,2%), IUD (9,2%), implant atau susuk KB (6,3%) sterilisasi wanita (6,7%), kondom (3,9%), sterilisasi pria (4,4%), MAL (Metode Amenore Laktasi) (5,1%), dan sisanya merupakan peserta KB tradisional masing – masing menggunakan cara tradisional, pantang berkala (6,6%) maupun senggama terputus (9,5%) dan cara lain (0,5%).(BKKBN, 2006). Banyak perempuan yang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya karena terbatasnya metode yang tersedia tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut, berbagai faktor harus dipertimbangkan termasuk status kesehatan. Salah satu bagian dari program KB nasional adalah KB implant. Kontrasepsi untuk kebutuhan KB yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Pemasangan implant sederhana dan dapat diajarkan dan efek sampingnya sedikit Implant merupakan kontrasepsi yang paling tinggi daya guna nya Kegagalan adalah 0,3 per 100 tahun tetapi mengapa ibu – ibu kurang berminat menggunakan alat kontrasepsi ini (Manuaba, 1998). Kelebihan implant adalah cocok untuk wanita yang tidak boleh menggunakan obat yang mengandung estrogen, perdarahan yang terjadi lebih ringan, tidak menaikan tekanan darah, resiko terjadi nya kehamilan ektopik lebih kecil jika dibandingkan dengan pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim. (Sarwono, 2006.)
Berdasarkan hasil presurvey di BKKBN pada tahun 2009 di Sumatra Utara Jumlah Pasangan Usia Subur sebanyak 1.982.810 peserta, pasangan yang menjadi peserta KB aktif pada Mei 2009 sebanyak 1.266.071 yakni peserta KB IUD sebanyak 2.488 peserta, Metode Operasi Wanita sebanyak 920 peserta, KB Senggama Terputus 257 peserta, Kondom 2.212 peserta, Implant 4.325 peserta, Suntik 9.974 peserta dan Pil sebanyak 10.931 peserta. Sementara PUS yang bukan peserta KB ada sebanyak 716.739 yakni 73.863 jumlah pasangan usia subur yang sedang hamil, 213.653 jumlah pasangan usia subur yang ingin mempunyai anak segera (IAS), 249.586 jumlah pasangan usia subur tidak ingin anak lagi (TIAL), 179.637 jumlah pasangan usia subur yang ingin anak ditunda (BKKBN,2009). Secara umum alasan utama tidak menggunakan KB Implant yang paling dominan dikemukakan wanita adalah merasa tak subur (28,5%). Alasan berikutnya yang cukup menonjol adalah alasan telah mengalami menopause (16,8%). Alasan berkaitan dengan kesehatan (16,6%). Alasan efek samping (9,6%). Puasa kumpul (7,3%). merasa tidak nyaman dalam ber KB (5,2%). Dan alasan berkaitan dengan akses ke pelayanan seperti jarak jauh, tak tersedia provider (0,1–1,6%). Selain itu masih dijumpai alasan mengenai larangan suami dan budaya atau agama (2,6% dan 0,9%) (BKKBN, 2009) Dari data yang diperoleh dari pemberdayaan wanita dinas kesehatan kota Medan peserta KB aktif pada bulan November 2009 di kecamatan Medan Marelan dari 20,830 PUS yang memakai alat kontrasepsi implant hanya 581 (3,85 %). Berdasarkan latar belakang masalah maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya minat ibu untuk memilih implant sebagai alat kontrasepsi di Kelurahan Terjun Kecamatan Medan Marelan.

PERSEPSI SUAMI DENGAN PEMAKAIAN ALAT KONTRASEPSI
Masalah yang sering dihadapi oleh negara berkembang adalah masalah kependudukan, termasuk juga di Indonesia. Salah satu masalah yang di hadapi oleh Indonesia saat ini adalah laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Jika terus tidak mendapat perhatian, ancaman ledakan jumlah penduduk pada 2015 bakal benar terjadi. Indonesia belum aman dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, yang masih berada di urutan keempat jumlah penduduk dunia terbesar, setelah China, India, dan Amerika Serikat, menurut data WHO Pasangan usia subur (PUS) di Dunia yaitu sekitar 145 juta jiwa. Jumlah PUS di China berjumlah 3,5 Juta jiwayang menggunakan KB senggama terputus (Tempointeraktif, 2010). Dari beragam program yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi laju pertumbuhan penduduk salah satu diantaranya adalah program Keluarga Berencana atau KB. Pengertian keluarga berencana menurut UU NO.10 Tahun 1992 adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui upaya pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Tujuan utama program KB nasional adalah untuk memenuhi perintah masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, menurunkan tingkat/ angka kematian bayi, ibu dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka membangun keluarga kecil berkualitas (Arum & Sujiyatini, 2009).
Jumlah penduduk Indonesia saat ini 230 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,40% atau sekitar 320 juta jiwa pertahunnya. Pasangan usia subur (PUS) di Indonesia yaitu sekitar 45 juta jiwa. Jumlah PUS di Sumatera Utara berjumlah 2,5 Juta jiwa. Jumlah pria yang menggunakan alat kontrasepsi di Indonesia hanya 2,7% dari total jumlah penduduk Indonesia ( BKKBN, 2007). Sedangkan jumlah pria yang aktif menggunakan alat kontrasepsi di Sumatera Utara hanya 3,15% (BKKBN, 2008). Data ini manunjukkan bahwa masih rendahnya partisipasi pria dalam menyukseskan program KB. Rendahnya pertisipasi suami dalam program KB dan penggunaan alat kontrasepsi karena kurangnya informasi dan sosialisasi tentang pengunaan kontrasepsi pada laki-laki, persepsi di masyarakat yang menganggap bahwa hanya wanita yang menjadi sasaran untuk program KB, keterbatasan metode kontrasepsi yang ada untuk laki-laki, kebijakan yang tidak mendukung seperti larangan terhadap iklan kondom yang menyebabkan terbatasnya informasi dan aksesbility alat KB dan kesehatan reproduksi bagi laki-laki, biaya yang mahal untuk melakukan Vasektomi (BKKBN, 2004) Menurut Desra (2009), dalam penelitiannya tentang persepsi suami tentang penggunaan kontrasepsi pada laki-laki mengatakan kalau dari keseluruhan responden yaitu sebanyak 65 orang, 63 orang diantaranya memiliki respon positif terhadap penggunaan kontrasepsi pada laki-laki dan 2 orang lainnya memiliki persepsi negatif, namun hal ini berbanding terbalik dengan jumlah responden yang menggunakan alat kontrasepsi pada laki-laki yaitu sebanyak 54 orang tidak menggunakan alat kontrasepsi pada laki-laki. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, bahwa partisipasi suami masih rendah dalam penggunaan alat kontrasepsi pada laki-laki sedangkan persepsi suami tentang penggunaan kontrasepsi pada laki-laki tergolong positif, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara karakteristik responden dengan persepsi suami tentang penggunaan alat kontrasepsi pada laki-laki.