Halaman

sayang

KAMPUS YAYASAN STIKES HARAPAN MAMA TERLETAK DI BATANG KUIS KM.14.5 NO.10 SEIROTAN-BATANGKUIS DELI SERDANG MEDAN SUMATERA UTARA

Selasa, 24 Mei 2011

MENOPAUSE PADA PRIA

Siapa bilang cuma wanita yang mengalami menopause? Pria juga bisa.Namanya Andropause.
Istilah andropause pada pria, ungkap dr. Tribowo Hasmoro, Sp.And.,memang memiliki banyak kemiripan dengan menopause yang dialami wanita. Hanya saja,masalah seputar andropause yang ramai dibicarakan 3 tahun belakangan ini, masih kontroversial. “Kapan terjadinya dan apa saja tanda/gejalanya, tidak sepasti menopause.”
Pada wanita,lanjut Tribowo, menopause berarti berhenti haid karena ovulasi tak terjadi lagi akibat habisnya persediaan sel telur. Nah, pada pria, andropause tak identik dengan berhentinya produksi sperma. Sebab, secara fisik, sampai usia tua pun, sperma masih akan tetap diproduksi.
GAMPANG MARAH
Istilah andropause sendiri, terang ahli andrologi yang berpraktek di RS Hermina, Jatinegara,digunakan untuk menggambarkan kondisi pria tengah baya yang mempunyai kumpulan gejala dan keluhan mirip dengan menopause pada wanita. Meski tak identik dengan berhentinya produksi sperma, keluhan fisik dan psikis yang muncul memiliki banyak kesamaan. Misalnya, rambut rontok, kulit kering dan keriput hingga tampak tua, tekanan darah dan kadar kolesterol meningkat, organ-organ tubuh seperti ginjal dan hati mengalami pengecilan, muncul gangguan osteoporosis, serta melemahnya kemampuan imunitas atau daya tahan tubuh.
Akibatnya, yang bersangkutan biasanya jadi cepat letih dan lesu lantaran berkurangnya kekuatan tubuh. Belum lagi, kemampuan metabolisme tubuh pun mengalami penurunan hingga gampang terjadi penumpukan lemak dan rentan terhadap berbagai gangguan penyakit. Misalnya saja jadi gampang terkena serangan jantung, kanker, danpenyakit lain. “Kemampuan mental yang bersangkutan pun umumnya menurun. Jadi mudah marah, cepat lupa, kehilangan antusiasme/gairah hidup, kurang percaya diri,cemas berlebih hingga susah tidur, bahkan depresi.”
Ciri lain adalah perubahan tingkah laku, semisal cenderung ingin tampil muda. Atau malah cenderung ingin membuktikan dirinya tak mengalami gangguan seksual dengan mengobral cinta. Sementara mereka yang sejak semula memang senang bersolek dan bergaya trendy belum tentu terkena andropause. Tak heran bila mereka terdorong mengkonsumsi suplemen tertentu yang diyakini sebagai obat kuat untuk memulihkan vitalitas dan kejantanannya. “Padahal, vitalitas yang menurun karena memburuknya derajat kesehatan,tidak identik dengan andropause.”
Hanya saja, tutur Tribowo, kecenderungan-kecenderungan tersebut masih disangsikan, apakah sebagai ciri khas andropause atau memang sifat individu yang bersangkutan. Kehilangan kepercayaan diri, contohnya, belum tentu lantaran andropause. Sekalipun dulu ia terbiasa menjadi pengambil keputusan, misalnya, kini jadi peragu.Bisa saja sikap ragu-ragunya itu merupakan cermin sikapnya yang lebih bijaksana.Begitu juga dengan kepikunan, belum tentu karena andropause. “Kan, banyak faktor pemicunya. Semisal aliran darah ke otak yang berkurang karena adanya gangguan/penyakit pada pembuluh darah, seperti sklereosis atau antesklereosis.”
TANPA BATASAN USIA
Dari sekian banyak keluhan, ungkap Tribowo, yang kerap mendorong individu datang berobat adalah menurunnya gairah seksual. “Padahal, keluhan yang satu ini, kan, belum tentu akibat andropause.” Bisa saja karena menurunnya daya sensitivitas terhadap rangsangan atau beban psikis semisal konflik dengan istri atau ada masalah di tempat kerja. Toh, menurunnya gairah seksual juga tak berarti tak bisa melakukan hubungan intim.
Selain itu, tegas Tribowo, tak ada batasan yang pasti soal usia.Artinya, usia fisik seseorang memang tak bisa dijadikan patokan. Meski diperkirakan andropause terjadi antara usia 40-60 tahun, bisa saja datang lebih dini atau justru lebih lambat dari perkiraan umur tersebut. “Tak sedikit, kan, pria di atas 70 tahun tapimasih tinggi gairah seksualnya dan tetap berpeluang besar punya anak?”
Sebaliknya, ada pria yang masih berusia 40 tahun atau lebih muda, namun gairah seksualnya sudah sedemikian menurun. Padahal,kondisi fisiknya secara keseluruhan belum mengalami proses penuaan yang berarti. “Nah, yang seperti ini,bisa disejajarkan dengan menopause prekoks atau menopause dini.”
Turunnya gairah seks dan munculnya gejala-gejala seperti disebut di atas,belum tentu menjelaskanyang bersangkutan mengalami andropause. Yang menjadi penentu andropause, terang Tribowo, adalah tingkat penurunan kadar hormon-hormon tubuh, terutama testosteron. “Menurunnya kadar-kadar hormon ini bukan melulu pertanda datangnya andropause. Bisa saja karena proses penuaan. Jadi, memang agak sulit menentukan apakah andropause merupakan proses tersendiri atau akibat yang mengikuti proses penuaan tubuh.”
PROSES FISIOLOGIS
Proses penuaan itu sendiri, ungkapTribowo,bersifat multikompleks. Artinya, bertambahnya usia akan menurunkan fungsi sel-sel secara keseluruhan, juga jaringan maupun organ-organ tubuh. Memang, adafaktor-faktor tertentu yang diduga mempercepat proses penuaan tersebut seperti penyakit metabolik atau penyakit tertentu yang berkaitan dengan fungsi-fungsi hormon dalam metabolisme tubuh, seperti diabetes, hipertensi, dan kelainan hati. Begitu juga lingkungan polutif dan pola hidup yang penuh dengan stres merupakan faktor pemicu. Sama halnya dengan menopause yang bukan merupakan akibat langsung dari penyakit tertentu, andropause punterjadi karena proses fisiologis itu sendiri. Jadi, tubuh tak lagi menghasilkan hormon yang cukup memadai bagi sel-sel normal untuk menjalankan fungsinya. Alhasil,organ-organ yang berkaitan dengan fungsi androgen,tak mampu menjalankan fungsi dengan semestinya. Penyebab utamanya, kemungkinankarena ada kerusakan DNA dari sel-sel tubuh. Menurut Tribowo,DNA memiliki kemampuan untuk merusak maupun memperbaiki diri sendiri, yang berbeda pada tiap orang akibat adanya faktor genetis/keturunan. Itu juga sebabnya ada wanita yangmenopause di usia 45 tahun, tapi ada pula yang lebih tua bahkan lebih muda dari 45 tahun.
Yang jelas, lanjutnya,sejauh ini belum ada data pasti mengenai populasi penderita andropause di Indonesia maupun di mancanegara. Begitu juga dengan penelitian tentang faktor pemicu dan
kelompok mana saja yang berpeluang besar mengalami andropause.
TERAPI HORMON
Kepada mereka yang datang dengan keluhan yang mengarah ke andropause, biasanya dokter akan melakukan pemeriksaan laboratorium sebelum menentukan terapi.Dari pemeriksaan laboratorium akan diketahui, hormon apa saja yang mengalami penurunan. Apakah itu hormon gonadotropin, somatotropin, melantonin, insulin, hormon pertumbuhan atau testosteron. Akan dilihat pula berapa kadar penurunan hormon-hormon tersebut. Nah, dari situlah dokter bisa menilai, perlu-tidaknya terapi. “Pemeriksaan ini amat perlu. Soalnya,ada pria yang range-hormonnya masih tergolong normal, yakni antara 300-1.700 nanogram, tapi sudah mengeluh macam-macam. Sebaliknya, ada pula yang kadar testosteronnya sudah drop, toh masih bisa menikmati kehidupan seksualnya dengan baik.” Tapi angka-angka tadi tak bisa dijadikan patokan apakah yang bersangkutan mengalami andropause atau tidak,mengingat sifatnya yang amat individual. Oleh sebab itu, pengobatan akan didahului dengan terapi psikologis. Apalagi bila ternyata hormon testosteron maupun hormon-hormon lain tak mengalami penurunan berarti. Untuk itu diperlukan koordinasi antara androlog yang menangani dengan psikolog atau psikiater. Bila terbukti ada hormon tertentu yang mengalami penurunan, pasien diberi terapi hormon lewat tablet atau injeksi intramuskular. Tambahan hormon ini biasanya akan bertahan selama dua minggu. Setelah kurun waktu tersebut, konsentrasinya akan turun dan perlu injeksi baru. Begitu seterusnya. Selanjutnya, tiap bulan dokter akan mengecek apakah kadar hormon sudah atau belum mengalami peningkatan. Jika sudah, pemberian hormon dihentikan untuk jangka waktu tertentu, “Tergantung respons pasien. Ini penting karena hormon yang diberikan punya dampak yang tak bisa dianggap sepele.Yakni pembesaran prostat yang bisa mengarah ke kanker prostat.” Terapi yang diberikan, lanjutnya, lebih ditujukan agar proses penuaan/kerusakan sel-sel tubuh tidak semakin memburuk. “Memperbaiki jelas tidak mungkin, dong. Siapa, sih,yang bisa menahan proses penuaan yang memang bersifat alami?” Toh, sebetulnya andropausetak perlu kelewat dikhawatirkan lantaran tak menyebabkan gangguan apa pun yang spesifik. “Selama sperma masih diproduksi dan inividu yang bersangkutan tak mengalami gangguan ereksi, enggak masalah, kan?

PROSES menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi kelainan atau perubahan struktur dan fungsi jaringan, sel dan non sel. (Widjayakusumah, 2009). Berbagai perubahan fisik dan psikososial akan terjadi sebagai akibat proses menua. Terjadinya perubahan pada semua orang yang mencapai usia lanjut yang tidak disebabkan oleh proses penyakit, menyebabkan kenapa penderita geriatrik berbeda dari populasi lain. (Brocklehurst and Allen, 2009).
Penurunan daya ingat ringan, penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan (presbiakusis dan presbiopia) bukanlah suatu penyakit. Seringkali memang susah untuk membedakan antara penurunan akibat proses fisologis dengan yang terjadi karena gangguan patologis, misalnya seperti pada osteoporosis dan aterosklerosis. (Martono,2010 ).
Banyak perubahan fisiologi yang mempengaruhi status gizi terjadi pada proses penuaan diantaranya adalah penurunan kecepatan basal metabolik ( BMR ) sekitar 2 % / dekade setelah usia 30 tahun. Penurunan sekresi asam klorida, pepsin dan asam empedu yang berpotensi untuk mengganggu penyerapan kalsium, zat besi, seng, protein, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak.
Dengan menurunnya fungsi biologis sel dan organ, maka daya adaptasi fungsi-fungsi tersebut untuk mengatasi gangguan fisik dan mental juga menurun. Dengan pertambahan usia yang ditandai gejala berkurangnya kemampuan fisik dan mental seseorang, maka beberapa keadaan patologis dapat timbul akibat proses penuaan. Berbagai komplikasi serius dapat timbul akibat adanya perubahan pada beberapa sistem organ dan fungsi metabolik yang disebabkan oleh imobilisasi. Dekubitus, osteoporosis, konstipasi, kelemahan dan perubahan psikologik merupakan beberapa komplikasi akibat imobilisasi. (Kahn, 2008).
Osteoporosis menurut etiologinya dapat dikelompokkan dalam osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah yang terjadi pada pria paska menopause oleh karena proses penuaan. Sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai hal antara lain oleh kelainan endokrin, gangguan fungsi hati, ginjal, defisiensi vitamin D, gangguan hematologi, kelainan saluran cerna dan berbagai macam obat-obatan. Osteoporosis sekunder yang salah satu penyebabnya yang paling sering ditemukan adalah glukokortikoid. Hal ini disebabkan oleh karena glukokortikoid dapat mempengaruhi produksi dari prostaglandin E, sintesis insulin like growth factor, 1 (IGF-1) dan transforming growth factor (TGF).
Imobilisasi juga akan mengakibatkan keseimbangan kalsium negatif yang merupakan manifestasi peningkatan eksresi kalsium dalam feses dan urin. Perubahan ini berkaitan dengan peningkatan reabsorbsi tulang sekunder akibat posisi berbaring dan kurang penyerapan di usus. Kadar serum 1,25 dihydroxyvitamin D juga berkurang. Selama imobilisasi hormon paratyroid akan meningkat bersamaan dengan kadar alkalin fosfatase selama remobilisasi seiring dengan adanya peningkatan reabsorbsi kalsium. (Seiler, 2010).
Pada orang dewasa kira-kira setengah dari alkaline phospatase diperoleh dari tulang dan setengahnya lagi dari hati. Pada osteoporosis aktifitas alkaline phospahatase dalam tulang biasanya meningkat. Pada awal menopause, turn over tulang (formasi atau resorpsi) meningkat kira-kira 2 kali lipat dan terus meningkat selama beberapa tahun, kemudian mulai menurun.
Osteoporosis adalah suatu keadaan berkurangnya massa tulang sedemikian rupa sehingga hanya dengan trauma minimal tulang akan patah. Osteoporosis akan menghilangkan elastisitas tulang sehingga menjadi rapuh dan menyebabkan mudah terjadi patah tulang (fraktur).
Menurut Kanis, seorang tokoh WHO dalam bidang osteoporosis, jumlah patah tulang osteoporotik meningkat dengan cepat. Di seluruh dunia pada tahun 2008 terjadi 1,7 juta kasus menopause pada pria. Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya usia harapan hidup. (Hilmy, 2010).
Dengan bertambahnya usia terjadi peningkatan kehilangan tulang secara linear. Kehilangan tulang ini lebih nyata pada pria dibandingkan laki-laki. Tingkat kehilangan tulang ini sekitar 0,5 – 1 % pertahun dari total berat tulang pada pria pasca menopause dan pada pria > 80 tahun. (Martono,2010)
Pada osteoporosis, penanda bone turn over dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tulang pada pria postmenopause, untuk memperkirakan kejadian fraktur osteoporotik dan untuk memantau efikasi pengobatan, terutama terapi anti resorpsi (HRT, bifosfonat dan calsitonin). Bebrapa studi cross-sectional menunjukan bahwa bone turnover meningkat dengan cepat setelah menopaouse, dengan 50 – 100 % peningkatan osteocalsin dan bone alkalin phosphatase (BAP). Pemeriksaan Bone Mineral Density (BMD) yang diukur pada beberapa tempat berkorelasi dengan bone turn over yang diperkirakan dengan beberapa penanda pada pria postmenopause (Garnero,P.2009)
Di Amerika 26 juta orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis, 40 % diantaranya mengalami patah tulang karena osteoporosis. 20 juta diantaranya adalah wanita. Dan ini akan membuat beban biaya untuk pengobatan kira-kira 10 juta dolar pertahun (Heimburger,2009). Menurut penelitian di Australia, setiap tahun 20.000 pria mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya meninggal karena komplikasi. Garvan mengatakan bahwa 25 % pria di negeri Kanguru itu bakal terkena osteoporosis.
Hasil studi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bogor, yang melakukan penelitian dari tahun 2009 – 2010 pada beberapa Propinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima perempuan mengalami osteoporosis pada usia memasuki 50 tahun. Dan pada laki-laki umur 55 tahun. Kejadian osteoporosis lebih tinggi pada pria ( 21,74 % ) dibandingkan dengan laki-laki (14,8 %). ( Siswono, 2010 )
Di Asia fraktur tulang pinggul juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50 % dari kejadian fraktur didunia terjadi di Asia (Campion, 2009). Prevalensi pria yang menderita osteoporosis di Indonesia pada golongan umur 50 – 59 tahun yaitu 24 % sedang pada pria usia 60 – 70 tahun sebesar 62 %.
Hal ini dikaitkan dengan masa menopause pada wanita. Ketika pria memasuki masa menopause, fungsi ovariumnya menurun akibatnya produksi hormon estrogen dan progesteron berkurang. Kalau kadar estrogen dalam darah turun, maka siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang mulai terjadi. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Yang sangat terpengaruh dengan keadaan ini adalah tulang trabekular, karena tingkat turn overnya tinggi.( Lane, 2010).
Data pasien baru osteoporosis rawat jalan di RS DR Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun 2003 adalah 128 orang umur 45 – 64 tahun, dan 32 orang yang berumur + 65 tahun. Ada beberapa faktor risiko osteoporosis diantaranya genetik, jenis kelamin dan masalah kesehatan kronis, defisiensi hormon, merokok, kurang olah raga serta rendah asupan kalsium. Bila dalam suatu keluarga mempunyai riwayat osteoporosis maka kemungkinan peluang anak mengalami hal yang sama adalah 60-80 %. Dilihat dari jenis kelamin 80 % pria mengidap osteoporosis. Risiko osteoporosis juga akan meningkat apabila mengidap penyakit kronis. Sedangkan hubungan antara perempuan osteoporosis karena menopause akibat dari penurunan hormon estrogen. (Siswono, 2009).
Minum alkohol yang berlebihan dan merokok juga meningkatkan risiko patah tulang dua sampai tiga kali dibandingkan dengan laki-laki yang tidak merokok. Kafein dapat meningkatkan pengeluaran kalsium melalui air seni. Begitu juga dengan minuman soft Drink yang mengandung karbonat dapat menghambat penyerapan kalsium oleh tubuh, ini bisa berakibat osetoporosis. (Siswono, 2009 ).
Beberapa hasil riset menyebutkan bahwa masukan kalsium yang tinggi berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan massa tulang, sedangkan massa tulang menurun pada orang yang mengkonsumsi alkohol ( P < 0.01 ). Kepadatan mineral tulang lebih baik pada asupan asam lemak tak jenuh ganda (Poliunsaturated acid).(Macdonald,et al, 2009 ).
Hal ini juga dipaparkan oleh Tucker, et al 2008, dimana dengan mengatur pola makan yang baik dihubungkan dengan kepadatan mineral tulang. Terano, 2009 menyebutkan bahwa ada hubungan yang positif antara pria yang tinggal di perkampungan nelayan dengan indeks massa tulang. Kosentrasi serum EPA dan DHA cukup tinggi pada pria post menopause di perkampungan nelayan dibandingkan dengan pria seumur yang tinggal di perkotaan. Kosentrasi serum EPA dan DHA mencerminkan suatu masukan ikan sehari-hari yang cukup.
Masukan sayur dan buah yang tinggi dapat bersifat melindungi. Penelitian lain menyebutkan bahwa total asupan protein hewani dapat memperbesar risiko patah tulang pinggul pada pria post menopause (Munger, 2009 ). Sekarang ada hal yang perlu dipertimbangkan untuk melindungi diri dari retak tulang yaitu dengan mengkonsumsi sayuran dan buah yang tinggi dimana Sebastian et al, melaporkan bahwa kalium dapat meningkatkan keseimbangan formasi mineral tulang. (Hegsted, 2010)
Beberapa bahan makanan nabati mengandung kalsium yang cukup tinggi, tetapi tidak dapat digunakan secara maksimal karena tingginya kadar oksalat atau phitat. Hal ini terutama terdapat pada bayam, dan bit serta biji-bijian. Didalam diet orang Inggris, oksalat banyak berasal dari teh. Adanya oksalat dalam makanan juga menurunkan ketersediaan magnesium dan besi. Asam oksalit dan fitik menyebabkan mineral-mineral tersebut tidak dapat digunakan oleh karena terbentuknya garam-garam yang tidak larut. (Linder,2009 )
Faktor lain yang mempengaruhi kadar kalsium dalam plasma adalah ratio Ca : P dalam makanan. Idealnya konsumsi kalsium hendaknya dalam kisaran yang sama dengan konsumsi fosfor, rasio P : Ca = 1,5 : 1 mungkin dapat diterima. Tapi rasio yang lebih dari 2 : 1, terutama kalau konsumsi kalsium rendah, akan menyebabkan pengaruh negatif. Makanan yang mempunyai ratio Ca : P tidak baik dapat meningkatkan sekresi hormon paratiroid, yang bisa menyebabkan demineralisasi tulang. Diperkirakan hal ini mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan terjadinya osteoporosis, suatu fenomena yang menurunkan kepadatan dan mineralisasi tulang. Ini umum terjadi dengan meningkatnya umur terutama pada pria menopause. (Linder,2010).

Tidak ada komentar: